Informasi
Akses Katalog Publik Daring - Gunakan fasilitas pencarian untuk mempercepat penemuan data katalog
Text
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENELANTARAN ANAK PASCA PERCERAIAN (Studi Putusan Nomor 93/Pid.Sus/2020/PN. Bintuhan)
Penelantaran anak pasca perceraian merupakan pelanggaran serius terhadap hakhak anak yang belum mendapat perlindungan hukum yang efektif di Indonesia.
Meskipun telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,
implementasinya masih lemah dan belum optimal. Anak-anak korban perceraian
seringkali kehilangan hak atas nafkah, perhatian, dan pendidikan yang menjadi
kewajiban orang tua setelah perceraian. Kasus gugatan anak terhadap ayah kandung
di Salatiga serta Putusan No. 93/Pid.Sus/2020/PN Bintuhan menjadi contoh nyata
lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku penelantaran anak. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji sejauh mana sistem hukum pidana mampu menjamin
keadilan serta perlindungan bagi anak-anak korban penelantaran oleh orang tua
pasca perceraian. Penelitian menggunakan metode hukum normatif dengan
pendekatan kualitatif yang berfokus pada studi kepustakaan (library research)
untuk menelaah norma dan kaidah hukum yang berlaku terkait penelantaran anak
pasca perceraian. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan
analisis terhadap peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan putusan
pengadilan, terutama Putusan Nomor 93/Pid.Sus/2020/PN Bintuhan sebagai bahan
hukum primer. Data sekunder berupa Undang-Undang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, serta literatur
akademik dan jurnal hukum juga dianalisis. Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder, sedangkan teknik analisis
data menggunakan metode deskriptif-analitis untuk mengolah dan menafsirkan data
secara sistematis dan menyeluruh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegakan
hukum terhadap pelaku tindak pidana penelantaran anak telah dilakukan
berdasarkan Pasal 76B jo. Pasal 77 Undang-Undang Perlindungan Anak, namun
masih bersifat reaktif dan belum optimal. Penegakan hukum baru dilakukan setelah
dampak penelantaran terjadi, mencerminkan lemahnya struktur, substansi, dan
budaya hukum. Selain itu, perlindungan hukum terhadap hak-hak anak pasca
perceraian masih bersifat formal dan normatif, belum diimbangi dengan sistem
pengawasan yang efektif serta keterlibatan lembaga perlindungan anak. Oleh
karena itu, diperlukan penguatan implementasi hukum, pengawasan yang lebih
ketat, serta keterlibatan aktif berbagai pihak agar hak anak benar-benar terlindungi
secara berkelanjutan.
Ketersediaan
Informasi Detail
Judul SeriVersi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain